Warm Lemon Tea #5: Sepucuk Surat (Untuk yang Patah Hati)

Hari Valentine mengingatkan mereka yang sudah berpasangan atau mungkin yang belum berpasangan. Hari Valentine juga mengingatkan mereka yang baru putus cinta entah bertepuk sebelah tangan atau berhenti melangkah....yang pasti, itu pedih, sakit hati. This is Lemon Tea for the broken heart...


Kalut, pusing, khianat, dan kalau bisa sumpah serapah, pikirmu. Namun semua hal itu kamu urungan karena kamu tahu hubungan ini dijalankan berdua. Kalian berdua tahu konsekuensi di balik manisnya permainan-kesetiaan-tanpa-komitmen-emas itu. Apalagi ketika salah satu paham utama langsung kalian tolerir.

Ya tolerir, namanya juga hubungan. "Bisa saja sudah ada tapi tidak terlihat, bisa saja nanti berubah jadi cocok", pikir kalian yang didasarkan oleh rasa.

Ah! Kamu terlalu halu! Dia juga!

Dan..yaa ini! Hal yang paling aku takutkan....
Setelah kalian cekikikan kalian diam. Waktunya sudah habis, dan kenyataan terbuka. Tidak tahu siapa yang salah, aku pun tidak terlalu peduli karena kalian berdua mengambil peran. Dia pergi pada kenyataannya, kamu pergi pada kenyataanmu. Mungkin kamu akan mengutuk dia, dan juga sebaliknya, pikirku.

Penyangkalan
Kita sudah menduga ini, kamu mengurung diri. Emosi bilang masih ada harapan tetapi logika menyambutnya dengan realita. Kamu sangkal logika dan memilih emosi. Kali ini aku tidak menyukai emosi. Lihat apa yang terjadi, kamu peluk saja bantal itu, menikmati candu elegi selagi bisa.

Ini cangkir kopi terakhir yang kamu buat, dan dia tidak menikmatinya. Aku sudah tahu ini artinya apa, tapi sangkal masih mengikatmu. Lalu kamu pergi dan kalian tidak saling memandang lagi.

Kamu pun jadi menyukai kopi, seperti dia. Padahal kamu tidak suka kopi. Kamu bilang padaku kamu lebih suka teh, feminin, sementara kopi terlalu maskulin. Entah karena kamu harus kembali pada realita dan kopi adalah energimu atau kopi adalah hal yang mengingatkanmu padanya.

Tapi aku tidak suka. Ini bukan kamu.

Penyesuaian
Dibenakmu hari sepi. Dentingan notifikasi tidak membuatmu berdegup lagi, tidak ada bedanya dengan semua bunyi yang bahkan beberapa kamu benci, dan beberapa meredup. Apakah kamu sedang menjaga jarak? Tapi terlalu jauh sehingga dunia juga kau beri jarak?

Pada akhirnya dunia tidak dapat kau jauhkan. Dunia selalu berjalan mengejarmu, tidak lupa juga untuk kepo urusanmu dengan mengangkat-angkat topik yang ingin kau hindari. Dunia membimbingmu pada tempat-tempat dan suasana manis itu. Ah dunia memang selalu menggelitik orang lain.

Sekarang kamu jadi ingat lagi kan... bagaimana dia si manusia sedikit kata mendekatimu. Bagaimana dia membuat kejutan lalu kamu pura-pura kaget karena dia tidak bisa menutupi gelagatnya. Bagaimana dia berusaha tenang saat kamu pura-pura cemburu. Atau...atau...bagaimana kalian berdua membahas suatu masalah bak detektif. Sebenarnya masing-masing dari kalian sudah tahu jawabannya, hanya saja kalian menikmati momen itu. Senang saling mendengar, senang saling membantu. Larut dalam permainan puzzle. Kamu jatuh pada cara ia membawa diri, seperti yang kau inginkan, yang sekarang kamu mati-matian untuk membencinya.

Dalam benci kamu mencapnya sebagai penipu di sore hari, pencuri di malam hari, pengemis di pagi hari, hingga habis makian jahat tak menentumu.

Akhirnya kamu cerita ke temanmu. Kamu mendapat sedikit titik terang, dengan bayaran seribu kata kosong atas dasar persamaan dilema. Ya taulah tidak semua orang mengerti. Tidak bisa disalahkan, mereka memiliki pandangannya sendiri, fokus dengan pergumulan masing-masing.

Penerimaan 
Kamu kembali padaku.
Aku jengkel, gemas, tapi semuanya baal. Aku hanya bisa mendengarkan suaramu teriring fluktuasi emosi sambil membasuh api amarahmu, berharap engkau letih melukai diri.

Ruang kenangan itu menyusut. Namun dalam kobaran api kamu berdoa pada Sang Pencipta untuk menggerakan semesta menjahit retak. Dibalas tamparan paham yang mencekat... Amin tidak jadi tersemat.

...dan kamu sadar, alasan kalian melangkah dalam permainan ini pun salah...

Cinta berlandaskan rasa, logika, dan komitmen untuk tujuan yang pasti. Semua orang tahu teori ini, tetapi banyak yang lengah. Menyisakan replika sintetik yang kau maki entah dirimu atau dirinya. Menagih pesan dan rasa tersembunyi yang tidak sempat disingkapkan, mungkin tidak akan pernah tersapa.

Dalam cekatan, kamu menemukan apa yang harus dipindai dan diasuh, juga apa yang tertahan oleh rasa. Kamu kira ini susah tapi lama-lama mudah. Kamu lihat lagi dialogmu dulu dan tertawa, kamu lihat lagi replikanya dan terbahak. Apimu menjadi tawa hangat. Sesekali kamu menertawai dirimu yang dulu.

"Sang Pencipta sungguh humoris. Ia membimbing penikmatnya dengan lawakan".

Aku suka melihatmu tertawa. Dibaliknya aku tahu bahwa tuan sedikit kata sudah pergi, dengan pamit yang tidak pernah kau mengerti. Namun jejaknya menjadi pengalamanmu. Oh, bukan jejak sosoknya-replikanya sudah kau hancurkan bahkan, melainkan jejak rasa. Kamu bersorai pada Sang Pencipta setidaknya mencicipi rasa permainan itu dibalik usahamu. Mungkin untuk bekal di kemudian hari, untukmu atau orang yang membutuhkan.

Kamu mungkin masih memerlukan hubungan dengannya entah konteks apa yang akan dipakai nanti, Sang Pencipta yang tahu dan menyiapkannya. Apa pun itu, semuanya harus dimulai dari awal lagi. Setidaknya kamu bersyukur, bersorai pernah merasa cinta dan memahami sesama. 

Epilog
Kita kembali dalam diam. Candu notifikasi pun tenggelam dalam usaha dan impian. .
"Apakah semesta merajut Amin?" tiba-tiba kamu bertanya padaku saat matamu melihat sosok di depanmu. Kita tidak saling menjawab. Dia pun tidak. Hanya Sang Pencipta yang tahu siapa yang akan mendentingkan lagu Pilu Membiru setelah "Gimana kabarmu?" 

Ah, aku hanya bisa menonton dan menantimu bercerita lagi padaku. 

Dari aku,
Ruang Sendiri

Terinspirasi dari:
VN05072002.WAV (Merakit Kamu) karya Sal Priadi
Pilu Membiru karya Kunto Aji
Sorai karya Nadin Amizah
Penampung curhat

Siapa Ruang Sendiri itu? Dia pernah disebut di Warm Lemon Tea #4

No comments:

Powered by Blogger.