Warm Lemon Tea #4: Ini Bukan Cerita Cinta


Ini bukan cerita cinta. Bukan cerita romantisme yang memabukkan dua manusia. Bukan cerita yang menimbulkan senyuman dan kenangan indah.

Dia seperti gadis pada umumnya: memiliki angan-angan menemukan pasangan saat ia beranjak dewasa. Dia merasa bahagia jika dapat menemukan pasangan. Hanya angan-angan belaka yang muncul ketika melihat kedua orang tuanya saling mencintai. 


Ketika sekolah dasar, Dia tidak terlalu memikirkannya. 
Masih muda, belum saatnya, pikirnya. 
Masih banyak kesibukan lain. Masih banyak hal untuk dipelajari. Masih banyak hal untuk dialami. Bahkan ia bertanya-tanya. Mengapa ia dan teman-temannya jijik saat menyentuh atau berpegangan dengan anak laki-laki. 
Anak laki-laki terlalu beringas, terlalu kasar, dan tidak berperasaan. Bagaimana perempuan dan laki-laki bisa saling suka dan berpacaran?


Ketika remaja, angan-angan itu muncul. 
Teman-temannya sudah mulai berpacaran. 
Datang ke sekolah, ada pasangan, pulang sekolah, ada pasangan juga. 
Angan-angan itu muncul, mencoleknya untuk mulai berpacaran. 
Ada satu dua laki-laki yang terlihat lumayan, tapi ia menolak walau mungkin ia merasa dirinya menyukai salah satunya. 
Perempuan sebaiknya menanti, tidak baik untuk menembak duluan, pikirnya. 
Menanti, menanti, menanti sambil menerka seperti apa laki-laki yang akan menyukainya. 



Namun, karena dia bukan orang populer, pikirnya tidak akan ada laki-laki yang mendekatinya. 
Apakah harus menarik untuk mendapatkan pacar? pikirnya lagi.
Ia melihat dirinya. Ia berpikir ia harus cantik jika ingin mendapatkan pacar. 
Apa stereotype laki-laki untuk tertarik pada perempuan? Cantik, kurus, putih? Pintar? 
Dia mulai melihat dirinya, membandingkan dirinya dengan perempuan lain. 
Seberapa keras dia berusaha, perbandingan merendahkannya. 
Apatah dia hanya kuntum kecil.



Dia bertemu seorang laki-laki. 
Berpikir laki-laki itu menyukainya, ia merasa angan-angannya terpenuhi. 
Keduanya berpikir saling menyukai, tanpa sadar laki-laki itu menjadi kegelisahannya.
Laki-laki itu adalah pengingat bahwa ia tidak berharga, aneh, pantas untuk dimusuhi. 
Menjijikan, tidak pantas mendapat kasih sayang. 
Membawanya untuk semakin membenci dirinya dan semua orang. 
Ini bukan Cinta, ini Benci
  

Dia menyukai seorang laki-laki, memiliki kegemaran yang sama.
Namun, ia teringat Benci,
Merasa tidak pantas menyukai laki-laki itu, dia hanya menjadi teman bagi laki-laki itu.
Menyembunyikan dirinya sendiri sampai laki-laki itu menemukan gadis lain.
Ini bukan Cinta, ini Takut.


Seorang laki-laki menarik perhatiannya.
Laki-laki itu mengajaknya bicara.
Di sekolah, di whatsapp, di line, di facebook, di mana pun dia berada.
Dia berpikir laki-laki itu menyukainya, merasa angan-angannya akan segera terpenuhi.
Beberapa orang pun membicarakan mereka berdua.
Namun, ketika lulus, laki-laki itu tidak muncul lagi. Dia juga tidak repot-repot melupakannya.
Ini bukan Cinta, ini Keadaan.


Dia tidak berpikir untuk memulai suatu hubungan lagi.
Memilih menantinya dengan santai dan tidak menganggap hubungan adalah kebutuhan utama.
Dia bertemu Ruang sendiri di dalam dirinya.
Dia menikmati hal itu.
Angan-angan seakan tidak berbisik lagi.


Dia bertemu laki-laki yang berusaha menarik perhatiannya.
Laki-laki itu mengajaknya untuk belajar bersama. Dia suka belajar.
Laki-laki itu mengajaknya untuk berdiskusi. Dia suka berdiskusi.
Laki-laki itu membantu apa pun yang sebenarnya Dia dapat lakukan. Dia bingung.
Laki-laki itu mentraktir makanan apa pun yang Dia ingin beli. Dia curiga.
Laki-laki itu berusaha untuk bisa berbicara dengannya. Dia sekarang tahu.
Tapi dia lelah, dia tidak bisa mengikuti arah permainan.
Dia menolak, dia menjauhinya. Laki-laki itu marah.
Ini bukan Cinta, ini Egois. 



Ketika Egois berubah menjadi Benci, masa lalunya, dia kembali bersama Ruang sendiri.
Ruang sendiri seakan mengenal dia dan melindunginya dari Benci, Takut, Keadaan, dan Egois.
Ruang sendiri mengenalkannya pada saudaranya, Kesepian.
Kesepian selalu mengingatkannya untuk tidak terikat dengan Ruang sendiri.
Melalui Kesepian, dia tahu tidak boleh selamanya bersama Ruang sendiri.
Dia boleh kembali lagi, tapi tidak menjadikan Ruang sendiri adalah Cinta.
Dia menjaga jarak dengan Ruang sendiri, mulai membuka diri dan bertemu orang-orang baru.

Dia bertemu seorang laki-laki.
Tidak apa-apa jika berteman, pikirnya.
Laki-laki itu, seperti Egois, berusaha untuk bisa bertemu dengannya.
Agresif menggunakan celah, alasan, wewenang untuk mendekatkan dia.
Memaksa prinsip baya yang berbeda dengan dia.
Sangkal suka dan tuduhan ofensif ketika dia menolak.
Ini bukan Cinta, ini Nafsu 


Benci, Takut, Keadaan, Egois, dan Nafsu membuatnya keliru soal Cinta.
Realita cinta tidak sesuai harapannya. Ruang sendiri dan Kesepian menjadi pelarian.
Ruang sendiri adalah penaung pelariannya, pelampiasannya, dendamnya.
Penaung itu mendorongnya menjadi mandiri dan tegas, tetapi berbelok menjadi pembandingan.
Karena tanpa sadar ia membawa Benci, Takut, Keadaan, Egois, dan Nafsu ke dalam Ruang sendiri. 


Ruang sendiri
adalah hati yang menyadarkannya bahwa cinta tidak didasarkan dari manusia.

Tuhan mencintai manusia, 
dari situ manusia bisa mencintai sesama, 
dari situ pula manusia bisa mencintai alam. 

Hati itu mendorong untuk tidak ragu menyerahkan ceritanya pada Tuhan.
Hati itu mendorong untuk berani keluar dari Keadaan yang "nyaman".
Keadaan perlahan menghilang, digantikan oleh Penyerahan Tanpa Ragu.


Kesepian adalah suara dirinya yang berbisik dibalik huru-hara berpacaran.
Kesepian menyadarkannya bahwa rasa takut bukan alasan mereka bertemu.
Kesepian bukan alasan takut ditolak, takut tidak memiliki pasangan.
Kesepian memberikan kesempatan baginya untuk membangun diri menjadi lebih baik.
Mengingatkan bahwa kebahagiaan tidak ditentukan dari status berpasangan.  
Takut perlahan menghilang, digantikan oleh Kesempatan. 


Kuntum menjadi mekar

Kesempatan dan Penyerahan tanpa ragu memberikannya keberanian untuk keluar.
Mengenal tempat baru, bertemu orang baru, belajar berempati.
Pengalaman itu mengajarkannya untuk peka terhadap lingkungan.
Sadar pada apa yang dia punya, memakainya untuk menjadi lebih baik.
Egois perlahan menghilang, digantikan oleh Rasa syukur. 


Ada kalanya ia berharap mendapatkan pasangan.
Ada kalanya ia berpikir membuat dirinya menarik, menjadi piring porselen yang keliru.
Ada kalanya mengikuti nafsu lebih mudah daripada mengikuti rencana Tuhan.
Penyerahan tanpa ragu, Kesempatan, dan Rasa syukur menunjukan bahwa nafsu adalah piring kertas. 
Menarik hanya sementara, tetapi tidak berkualitas.
Piring porselen tidak terbentuk dengan mudah. Mereka ada setelah melewati proses panjang.
Nafsu perlahan menghilang, digantikan oleh Perjalanan.


Berhenti mengkhawatirkan masa lajang, bergerak dalam suatu perjalanan.
Dia bersyukur memiliki waktu yang lebih luas daripada mereka yang sudah berpasangan.
Dia bersyukur memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan dirinya lebih baik.
Waktu dan kesempatan berlimpah untuk menolong orang lain daripada mereka yang terfokus dengan pasangan mereka.


Kuntum menjadi mekar
Mekar meraksi.....

Mungkin masih lama ia mendapatkan pasangan, mungkin juga sebentar lagi.
Mungkin juga ia akan bertemu laki-laki yang belum tentu menjadi pasangannya.
Namun yang pasti, ia masih memiliki waktu untuk membangun dirinya, belajar mencintai dirinya.
Mencintai bukan dalam hal nafsu, egois, takut, keadaan, dan benci.
Dan nanti ketika Tuhan memberikannya pasangan. Itu adalah waktu yang tepat baginya.
Karena penulis cerita cintanya adalah Tuhan. 
Benci perlahan menghilang, digantikan oleh Cinta.


Inspired from:
Chase vs Everything
New Age Creator
Lady In Waiting karya Jackie Kendall












No comments:

Powered by Blogger.