Sabun #6: Uji Minyak yang Digunakan


Dalam pembuatan sabun, kita mengenal istilah saponifikasi yang melibatkan minyak/lemak dan lye (NaOH/KOH). Kualitas sabun tidak hanya ditentukan dari proses saponifikasi, tetapi juga minyak yang digunakan. Lalu bagaimana menentukan minyak yang sesuai untuk pembuatan sabun kita? 


Lihat lagi artikel mengenai bioteknologi (klik judul)

Sifat minyak menentukan kualitas sabun yang akan dihasilkan. Minyak/lemak tersusun dari asam lemak yang dapat dibagi menjadi asam lemak jenuh (saturated fatty acid) dan asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acid). 

Asam lemak jenuh tidak memiliki ikatan rangkap sehingga memiliki gugus hidroksil yang banyak (jenuh). Umumnya minyak yang mengandung asam lemak jenuh tinggi berupa padatan pada suhu ruang dan berasal dari hewan. Asam lemak jenuh digunakan untuk menghasilkan sabun yang keras, tidak mudah larut dalam air, dan memiliki kemampuan membersihkan dan menghasilkan sabun yang baik. 

Asam lemak tidak jenuh umumnya bersifat cair di suhu ruang dan berasal dari tanaman. Asam lemak tidak jenuh memiliki satu atau lebih ikatan rangkap sehingga semakin sedikit hidrogen yang menempel pada senyawa tersebut. Sabun yang dibuat dengan asam lemak tidak jenuh yang tinggi lebih lembut, mudah larut, tetapi tidak menghasilkan busa yang cukup.   

Namun tidak ada sumber minyak dan lemak yang mengandung hanya satu jenis asam lemak.Selain itu panjang rantai karbon juga memengaruhi. Trial and error dapat digunakan untuk menentukan campuran minyak yang cocok untuk sabun kita, tetapi kita juga dapat memperkirakan kualitas minyak yang digunakan dengan metode titrasi di lab seperti: 


1. Penentuan Nilai Saponifikasi 
Uji yang dilakukan untuk menghitung berapa mg KOH yang diperlukan untuk melakukan reaksi saponifikasi satu gram minyak. Nilai yang kecil menunjukan asam lemak berantai C panjang atau berat molekul yang lebih berat. 

Contoh metode: 
Dua gram sampel minyak dimasukan ke dalam 30 ml etanol-KOH 0,5 M. Panaskan campuran selama 30 menit secara perlahan sambil diaduk dan pastikan semua sampel larut. Setelah itu, 1 ml phenolphthalein (PP) ditambahkan dan dititrasi dengan 0,5 M HCl hingga menjadi pink. Lakukan uji dengan blanko (prosedur sama, tapi tidak ada sampel minyak) sebanyak tiga kali untuk mendapatkan rata-rata volume titrasi 0,5 M HCl. 

Nilai saponifikasi dilakukan dengan cara:
   S.V = (28,05 x (v2-v1)M)/W

S.V = saponification value;
28,05 = Mr lye x 0.05);
V1 = volume HCl yang digunakan dalam titrasi (ml)
V2 = volume HCl yang digunakan dalam blank (ml)
M = masa molar HCl
W= berat sampel minyak (gram)

Rumus ini secara lebih lengkap adalah:
S.V = ((BL – EP) x TF x Cl x K1)/W

S.V = saponification value;
BL = blank level (ml)
EP = volume titrasi (ml)
TF = faktor reagen (HCl = 1,006) 
Cl = koefisien konversi konsentrasi (Mr lye x 0.05) 
KI = koefisien konversi unit (1) 
W = adalah berat sampel (gram) 

Hasil ini dinyatakan dalam mg KOH/ g lemak. Nilai saponification value yang lebih kecil menunjukan asam lemak dengan rantai karbon yang panjang. Nilai ini dapat digunakan untuk menentukan jumlah lye (bisa dilihat dari satuannya: mg KOH/ g lemak) dengan cara:
Jumlah masa lye  = jumlah minyak x saponification value 
Total berat larutan lye = jumlah lye : 0.3
Total air = total berat larutan lye - jumlah masa lye


2. Penentuan nilai Iodin 
Uji ini dilakukan untuk mengukur berapa banyak larutan iodin yang berekasi dengan asam lemak suatu minyak/lemak. Cara ini menentukan berapa banyak asam lemak tidak jenuh. Jika nilai iodin semakin rendah, asam lemak tidak jenuh semakin sedikit dan sabun yang dibuat kemungkinan semakin keras dan susah larut dalam air walaupun tidak mudah rancid. 

Contoh metode: 
0,4 gram minyak dicampur dengan 20 ml CCl4 dalam erlenmeyer. CCl4 di sini bertujuan untuk melarutkan minyak. Kemudian 25 ml reagen diasetil monoxime dimasukan dengan pipet dalam lemari asam. Campuran  diinkubasi selama 2 jam 30 menit. Setelah itu, 20 ml dari KI 10% ditambahkan dan 125 ml air ditambahkan. Campuran dititrasi dengan larutan 0,1M sodium thiosulfate (Na2S2O3) hingga warna kuning hilang. Teteskan 1% pati, dan titrasi dilanjutkan dengan menambah sodium thiosulfate hingga warna biru hilang. Blank dilakukan tanpa adanya minyak. Rumus adalah seperti berikut: 
nilai iodin = (berat ekuivalen iodin x (V1-V2) x Normalitas sodium tiosulfat x 100) / 1000 M 

Normalitas dari sodium tiosulfat = 0,1;
Berat ekuivalen iodin = 127;
V1 = volume sodium thiosulfat  blank (ml)
V2 = volume sodium thiosulfat uji (ml)

contoh metode lainnya dapat dilihat di amrita.edu

Perlu diingat, dengan adanya uji nilai iodin bukan berarti sabun yang dimiliki harus memiliki nilai iodin sebesar mungkin. Suatu sabun yang berkualitas baik harus memiliki perpaduan antara asam lemak jenuh dengan asam lemak tidak jenuh. 


3. Penentuan FFA% (Free Fatty Acid Percentage, Persen Asam Lemak Bebas) 
Asam lemak bebas adalah minyak/lemak yang tidak tersaponifikasi dan dapat menurunkan kualitas sabun menjadi lebih bau atau mengalami pemudaran warna. Namun, asam lemak bebas ini juga diperlukan untuk menambahkan kemampuan menghasilkan busa dan kemampuan melembabkan (lewat superfats). Penentuan FFA% ini dapat ditentukan dari minyak yang digunakan, tetapi lebih baik pada sabun produk akhir. Standar Nasional Indonesia menganjurkan agar sabun mandi memiliki FFA% maksimal 2,5 yang dihitung sebagai asam oleat. 

Contoh metodenya (diambil dari SNI 06-3532-1994) 
Uji FFA% dilakukan dengan penentuan alkali bebas terlebih dahulu. Lima gram sabun dimasukkan ke dalam Erlenmeye dan ditambah 50 ml etanol. Tiga tetes (0,5 ml) indikator PP 1% ditambahkan ke dalam larutan. Sampel dipanaskan dan diangkat saat mendidih. Jika sampel bersifat basa, sampel dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berubah warna menjadi semula baru dititrasi dengan larutan standar KOH hingga warna merah muncul. 

Rumus FFA% adalah: 
FFA% = (282 x V x N)/B  x 100

V = volume KOH yang digunakan (ml);
N = normalitas KOH yang digunakna;
B = bobot sampel (mg) 
282 = berat ekuivalen asam oleat (C18H34O2) 

Contoh metode lainnya: 
Satu gram minyak dipanaskan dalam 50 ml etanol dan dibiarkan dingin. Teteskan dua tetes PP dan lakukan titrasi dengan 0,1 N NaOH. Lakukan titrasi dengan blank. FFA dihitung dengan rumus: 
FFA% = ((V2-V1)N 28.2)/W

V2 = volume titran/ NaOH (ml)
V1 = volume blank (ml)
N = normalitas NaOH;
W = berat sampel (gram) 
28.2 = berat molekul asam oleat yang telah dibagi 10. 


Oh ya, berbicara mengenai Standar Nasional Indonesia (SNI), standar ini juga memuat hal-hal apa saja yang harus dianalisis agar sabun dapat dipasarkan. Analisis dan standar berbeda tergantung jenis sabun yang akan dipasarkan. Beberapa contoh analisis-nya adalah: 
  1. Uji kadar air 
  2. Penentuan total lemak (minimal 
  3. Penentuan bahan tidak larut etanol 
  4. Penentuan alkali bebas
  5. Penentuan kadar klorida 
  6. Uji lemak tidak tersabunkan 
  7. Penentuan asam lemak bebas  

Analisis dan standar ini dapat berubah tergantung perubahan dari Badan Standarisasi Nasional 

Semoa artikel ini membantumu :)
Lihat lagi artikel mengenai bioteknologi (klik judul)

Referensi: 
Amrita.edu. 2011. Wstimation of Iodine Value of Fast and Oils. Retrieved from Amrita.edu: http://vlab.amrita.edu/?sub=3&brch=63&sim=1111&cnt=2 (12 Desember 2019).

Classic Bells Ltd. 2019. What Are The Iodine Number and INS? Retrieved from Classic Bells: https://classicbells.com/soap/iodineINS.asp (12 Desember 2019). 

Kyoto Electronics Manufacturing Co., LTD. 2019. Saponification Value of Fat and Oil. Retrieved from http://www.kyoto-kem.com/en/pdf/industry/FatVegetableOil/ETIB-99307.pdf (12 Desember 2019).

Vidal, N. P., Adigun, O. A., Pham, T. H., Mumtaz, A., Manful, C., Callahan, G., Stewart, P., Keough, D., & Thomas, R. H. 2018. The effects of cold saponification on the unsaponified fatty acid composition and sensory perception of commercial natural herbal soaps. Molecules, 23: 2356.  
Badan Standarisasi Nasional-SNI 06 – 3532-1994


No comments:

Powered by Blogger.