Opini #2: Masalah Mikroplastik dan Solusi Teknologi yang Telah Ada


Seiring kemunculan zero-waste lifestyle, pengurangan penggunaan plastik dalam produk kosmetik mulai dipikirkan. Plastik ada dalam produk kosmetik? Ya, dan mereka memiliki peran besar dalam produk kecantikan seperti skincare. Lalu bagaimana pendekatan teknologi yang dilakukan? Berikut adalah diskusi saya dengan salah satu adik kelas saya.

Lihat lagi artikel mengenai bioteknologi (klik judul)

sumber: Jambeck et al., 2015

Plastik adalah penemuan terbesar dan terburuk dalam sejarah manusia. Sejarah plastik dimulai tahun 1959 oleh Sten Gustaf Thulin di Swedia yang berencana mengurangi penebangan hutan dalam produksi kantung kertas. Beliau menemukan plastik sebagai bahan pengganti yang ramah lingkungan (rendah energi dan tahan lama).

Namun masalah muncul ketika masyakarat menggunakan plastik sekali-pakai-langsung-buang. Ditambah karena kelebihannya yang tahan lama, sekarang kita berhadapan dengan akumulasi limbah plastik di laut. Indonesia adalah negara kedua dengan limbah plastik terbanyak, 0,48-1,29 juta m2 ton/ tahun (Jambeck et al., 2015). Masalah limbah plastik paling utama adalah mikrobead dari produk kosmetik, serat plastik dari pakaian, dan pecahan-pecahan limbah plastik berukuran besar.


Mikrobead di Produk Kosmetik? 
Plastik yang digunakan berupa mikrobead (istilah mikroplastik juga sering digunakan). Mikrobead adalah partikel kecil dengan diameter kurang dari satu milimeter. Umumnya mikrobead digunakan sebagai exfoliant fisikal seperti scrub/lulur dan pasta gigi. Jenis yang digunakan umumnya adalah polyethylene (PE), yang lain adalah polystyrene dan polypropylene. Pada artikel ini, saya akan lebih fokus membahas pendekatan teknologi dalam mengelola PE.


Kasus di Indonesia dan Masalahnya bagi Perairan Indonesia 
Mikroplastik/mikrobead yang terbilas dapat masuk ke saluran air dan ke perairan. Di Indonesia, mikroplasik telah mengkontaminasi ikan di Pantai Pangandaran dan terumbu karang di Sekotong, Lombok (Cordova et al., 2018; Ismail et al. 2019).
Skema mikrobead dari rumah menuju lingkungan perairan. Mikrobead dari perumahan sampai ke pengelolaan limbah air. Mirkobead yang lolos, dapat masuk ke laut, membahayakan lingungkan laut. Sludge/ lumpur dari hasil filtrasi digunakan sebagai pupuk, tetapi mikrobead dapat terbawa oleh air ke laut.

sumber: Rochman et al., 2015

Hal ini menjadi masalah karena mikroplastik dapat menyerap racun di perairan (toxic persistent organic pollutants/ POPs). Dan organisme perairan tidak dapat membedakan mikroplastik dengan makanan (plankton). Ketika ikan memakan mikroplastik, ikan terpapar POPs yang kemudian terakumulasi di jaringan mereka dan sampai ke sajian makan malam kita. Penelitian dari Pavani & Rajeswari (2014) menunjukkan bahwa mikroplastik dapat mengganggu sistem imun, hormon, dan enzim.
sumber: Wardrop et al., 2016
Apa yang harus dilakukan?
Marine biologist menganjurkan untuk mengurangi penggunaan dan mendaur ulang plastik. Cara ini tidak hanya berlaku dalam gaya hidup, tetapi juga aktivitas produksi industri. Pelarangan penggunaan mikrobead (mikroplastik) di U.S. muncul pada tahun 2015 melalui H.R. 1321-Microbead-free Water Act 2015. Negara-negara lain juga sudah melarang penggunaan mikrobead dalam produk kosmetik.

Bagaimana di Indonesia? Berdasarkan pengalaman kami, masih ditemukan istilah polyethylene dalam produk skincare impor ataupun lokal. 

Apakah Solusi ini Efektif? 
Pengurangan dan daur ulang plastik menjadi salah satu cara yang efektif untuk mengurangi penambahan limbah plastik ke badan perairan. Namun, hal ini tidak menjadi solusi untuk limbah plastik yang masih ada di laut. Mengingat resiko yang dihasilkan mikroplastik, diperlukan suatu cara untuk mengambil plastik dari laut dan mengelolanya.

Mencegah dan Mengambil Limbah Plastik dari Perairan? 
Kita tidak memiliki cukup data berapa banyak dan dimana limbah plastik dan mikroplastik dihasilkan, yang dapat berpengaruh pada solusi yang harus dilakukan. Walaupun peneliti telah menyatakan bahwa limbah mikroplastik dihasilkan sebanyak delapan triliun, nilai ini hanya estimasi yang dilakukan di US (Rochman et al., 2015). Tanpa melihat data, sudah ada teknologi yang mencoba untuk mencegah masuknya limbah plastik ke perairan.

a. Perkenalkan Mr. Trash Wheel 
Mr. Trash Wheel adalah pencegat sampah roda air (water wheel trash interceptor) yang dipasang pada tahun 2014 di mulut Sungai Jones Falls, pelabuhan bagian dalam Baltimore. Sungai Jones Falls dipilih karena menjadi sumber datangnya sampah ke pelabuhan. Mr. Trash Wheel digerakkan dengan tenaga surya dan air. Ia bekerja dengan mengambil sampah di sungai dan membuangnya ke tempat sampah yang telah disediakan. Setiap harinya, Mr. Trash Wheel dapat mengambil 25 ton sampah, termasuk limbah plastik dan puntung rokok. 


b. The Ocean Cleanup Project
Berupa tabung plastik berbentuk U sepanjang 600 meter dengan kedalaman 3 meter bernama Wilson. Wilson dibuat oleh  yayasan nirlaba yang dipimpin oleh Boyan Slat (24) pada tahun 2018 untuk bergerak di laut menuju tempat dengan konsentrasi plastik tertinggi dan menangkap limbah plastik. Teknologi ini juga dilengkapi dengan kamera, sensor, dan antena satelit untuk memberikan data dan informasi kepada kapal yang akan mengangkut limbah plastik ke daratan. 



Terdengar menarik. Kita dapat memperoleh data dan juga mengurangi limbah plastik di laut. Tetapi para ahli skeptis. Mengapa?   

Pada pelaksanaannya, Wilson tidak menangkap plastik. Plastik yang terperangkap di mulut Wilson langsung terlepas. Lalu pada Desember 2018, The Ocean Cleanup mengumumkan bahwa potongan sepanjang 59 kaki di salah satu ujung U telah putus, diperkirakan karena angin dan ombak. Perbaikan telah dilakukan, dan Wilson mulai dapat menangkap plastik di laut. 


Hal yang membuat para ahli skeptis adalah pola pikir yang terjadi jika proyek ini sukses. Jika terdapat solusi untuk mengambil limbah plastik, maka orang-orang tidak perlu peduli pengurangan penggunaan plastik. Pola pikir lain adalah orang tidak merasa bahwa aksi individualnya (cth: zero-waste lifestyle) akan berpengaruh signifikan. Pada kenyataannya masalah limbah plastik (dan mikroplastik) tidak dapat sepenuhnya diselesaikan dengan satu solusi (cth: The Ocean Cleanup).  

c. Elektrokoagulasi 
Tetapi, jika kita sedang membahas mikroplastik, cara ini kurang efektif. Tantangan utama dalam mencegah dan mengambil limbah mikroplastik dari laut adalah ukurannya yang kecil. Plastik yang berukuran besar dapat mengapung di permukaan perairan sehingga lebih mudah diambil. Namun, tidak semua mikroplastik dapat mengampung. Sebagian besar PE memang ditemukan di permukaan laut, tetapi ditemukan juga PE (dan jenis mikrobead lainnya) yang ada di dasar laut.
sumber: Perren et al., 2018

Perren et al. (2018) menggunakan elektrokoagulasi untuk mengambil mikroplastik sebelum masuk ke perairan. Sistem elektrokoagulasi ini melibatkan reaksi ion logam dengan OH- menghasilkan koagulan logam hidroksida yang mendestabilisasi muatan permukaan mikroplastik. Hal ini mendorong mikroplastik untuk berikatan satu sama lain melalui gaya Van der Waals, meningatkan ukuran partikel mikroplastik. Selain itu, koagulan yang dihasilkan akan membentuk selimut lumpur (sludge) yang menangkap mikroplastik. H2 yang dihasilkan dari elektrokoagulasi akan mengangkat selimut tersebut ke permukaan air. 

Dari percobaan yang dilakukan Perren et al., mereka berhasil mengambil 85% mikrobead pada rentang pH yang luas, sehingga dapat diaplikasikan pada berbagai perairan. Elektrokoagulasi berperan dalam memaksimalkan jumlah mikroplastik yang terfilter dalam rupa sludge. Sebelum metode ini dapat diaplikasikan, Perren et al. menyarankan untuk mengoptimasi efisiensi dan biaya melalui optimasi salinitas dan medan elektrik. Selain itu, diperlukan desain reaktor yang dapat diproduksi masal dan digunakan secara luas. 

Ini menjadi salah satu cara baru untuk mempermudah pengambilan limbah plastik dari perairan di mana metode ini dapat diimplementasikan pada jalur tempat pertama kalinya limbah plastik dikeluarkan. Ataukah metode ini dapat digunakan bersama dengan teknologi sebelumnya? 

Mengelola limbah plastik?  
Lalu bagaimana kita melenyapkan plastik? Plastik tidak dapat dilenyapkan sepenuhnya. Plastik merupakan bahan terbaik yang murah, mudah dibentuk, dan cocok sebagai pelindung yang higenis. Kantung plastik juga, tanpa orang awam sadari, memerlukan energi dan air yang jauh lebih rendah daripada kantung kertas dan kain. Selain lebih tahan lama juga lebih ringan. Inilah alasan mengapa para ahli skeptis jika kantung kertas dan kain disebar ke pertokoan.  

Plastik yang memang sudah tidak dapat digunakan kembali akan didaur ulang. Namun perlu diingat, hanya 14 % plastik di dunia yang dapat didaur ulang (Ellen MacArthur Foundation & McKinsey & Company, 2016). Plastik yang tidak dapat didaur ulang atau dibutuhkan lagi akan dibakar, yang kita tahu tidak ramah lingkungan.  

Teknologi Degradasi sebagai Teknologi Baru? 
Teknologi degradasi menawarkan kesempatan untuk mengubah plastik menjadi bahan lain yang berguna. 

a. Ulat larva Galleria mellonela
Penelitian dari Bombelli et al. (2018) menyimpulkan bahwa 100 ulat larva ngengat lilin Galleria mellonella (caterpillar larva wax moth G. mellonela) dapat mendegradasi 92 mg PE dalam waktu 12 jam. Hasil penelitian ini merupakan proses degradasi tercepat dari semua degradasi PE oleh organisme.       
Ulat lilin mendegradasi plastik dengan memotong ikatan C-C pada senyawa alifatik. Kemampuan ini dimiliki ulat lilin untuk dapat mengonsumsi makananya, bee's wax yang memiliki struktur seperti PE. Byproduct yang dihasilkan adalah etilen glikol yang dapat digunakan untuk menghasilkan serat poliester dan sebagai bahan antifreeze. Namun diperlukan penelitian lanjutan untuk melihat apakah degradasi dilakukan oleh ulat tersebut atau mikroflora usus. 

b. Citrobacter sp. dan Kosakonia sp. 
Brandon et al. (2018) menemukan dua bakteri tersebut dalam pencernaan mealworm (Tenebrio molitor larvae). Sama seperti penelitian Bombelli et al., Brand et al. menyarankan diperlukannya penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme degradasinya.     
Para ahli menilai metode ini terlalu mahal dan lebih baik mendaur ulang dan mengurangi penggunaan plastik. Hal ini bisa benar. Namun, tidak semua lapisan masyarakat dapat melakukan pengurangan penggunaan plastik. Contoh, zero-waste lifestyle yang sekarang jadi hits. Beberapa negara berkembang seperti Indonesia, gaya hidup ini masih terbilang mahal dan merupakan privileged untuk masyarakat menengah-atas.

Masyarakat lebih mudah mendapatkan bahan plastik daripada bahan-bahan yang reusable dan sustainable.  Sebenarnya fakta ini bisa membantu dengan cara mengajak masyarakat memakai kembali plastik yang digunakan. Namun pada kenyataannya tidak semua jenis plastik dapat diperlakukan demikian. Contoh: ingat BPA dan karsinogen pada botol minum kemasan? 


Berbicara mengenai mikroplastik, metode degradasi dengan mikroorganisme akan lebih efektif mengingkat mikroplastik memiliki ukuran yang kecil dari plastik pada umumnya. Kita juga dapat mempelajari mekanisme degradasi plastik oleh mikroorganisme melalui studi tim Brandon dan Bombelli. Mikroorganisme atau enzim yang berperan dapat dimanfaatkan dalam bentuk reaktor, tetapi perlu dioptimalkan agar dapat diterapkan dalam skala besar. 

Studi lain untuk menemukan protein dan gen yang terlibat dalam degradasi dapat digunakan untuk menemukan organisme laut dengan kemampuan yang sama. Organisme laut seperti itu dapat dibudidayakan di sekitar air limbah dan akan mengkonsumsi limbah yang mengandung mikroplastik. Meskipun penggunaan organisme laut yang dilepaskan ke laut masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, gagasan ini mungkin membantu mengurangi mikroplastik di laut. Tantangan yang dihadapi dalam menerapkan teknologi ini adalah kita harus menemukan metode untuk mengukur jumlah tepat plastik mikro yang memasuki laut. Dengan demikian, perkiraan jumlah organisme yang diperlukan untuk mendegradasi mikroplastik secara efektif dapat diperkirakan.

Semoga artikel ini membantumu :)
Lihat lagi artikel mengenai bioteknologi (klik judul)

Special thanks:
Herlisman

Referensi:
Becker, R. 2019. Why So Many of Us Wanted to Believe In an Ocean Cleanup System That Just Broke. Retrieved from The Verge: https://www.theverge.com/2019/1/9/18175940/ocean-cleanup-breaks-plastic-pollution-silicon-valley-boyan-slat-wilson (21 Oktober 2019).
Bombelli, P., Howe, C. J. & Bertocchini, F. 2017. Polyethylene bio-degradation by caterpillars of the wax moth Galleria mellonella. Current Biology 27, R292-R293. 
Brandon, A. M., Gao, S. H., Tian, R., Ning, D., Yang, S. S., Zhou, J., Wu, W. M. & Criddle, C. S. 2018. Biodegradation of Polyethylene and Plastic Mixtures in Mealworms (Larvae of Tenebrio molitor) and Effects on the Gut Microbiome. Environmental Science & Technology 52, 6526-6533.
Chow, L. 2017. Solar-Powered Water Wheel Removes 350 Tons of Trash From Baltimore Harbor. Retrieved from EcoWatch: https://www.ecowatch.com/solar-powered-water-wheel-removes-350-tons-of-trash-from-baltimore-har-1882130530.html (21 Oktober 2019).
Congress. Gov. H.R.1321 - 114th Congress (2015-2016): Microbead-Free Waters Act of 2015. Congress.gov (2019). https://www.congress.gov/bill/114th-congress/house-bill/1321/text.
Cordova, M. R., Hadi, T. A. & Prayudha, B. 2018. Occurrence and abundance of microplastics in coral reef sediment: a case study in Sekotong, Lombok-Indonesia. Advances in Environmental Sciences-Bioflux 10, 23-29.
Ellen MacArthur Foundation & McKinsey & Company. 2016. The New Plastics Economy - Rethinking the future of plastics. Retrieved from Ellen MacArthur Foundation : https://www.ellenmacarthurfoundation.org/assets/downloads/EllenMacArthurFoundation_TheNewPlasticsEconomy_Pages.pdf. (21 Oktober 2019).
Geyer, R., Jambeck, J. R. & Law, K. L. 2017. Production, use, and fate of all plastics ever made. Science Advances 3, e1700782.
Ismail, M. R., Lewaru, M. W. & Prihadi, D. J. 2019. Microplastics Ingestion by Fish in The Pangandaran Bay, Indonesia. World News of Natural Sciences 23, 173-181.
Jambeck, J. R., Geyer, R., Wilcox, C., Siegler, T. R., Perryman, M., Andrady, A., Narayan, R. & Law, K. L. 2015. Plastic waste inputs from land into the ocean. Science 347, 768-771.
Moussa, D. T., El-Naas, M. H., Nasser, M. & Al-Marri, M. 2017. A comprehensive review of electrocoagulation for water treatment: Potentials and challenges. Journal of Environmental Management 186,  24-41.
Pavani, P. & Rajeswari, T. R. 2014. Impact of Plastic on Environmental Pollution. Journal of Chemical and Pharmaceutical Sciences Special Issue 3, 87-93.
Perren, W., Wojtasik, A. & Cai, Q. 2018. Removal of Microbeads from Wastewater Using Electrocoagulation. ACS Omega 3, 3357-3364.
Rochman, C. M., Kross, S. M., Armstrong, J. B., Bogan, M. T., Darling, E. S., Green, S. J., Smyth, A. R. & Veríssimo, D. 2015. Scientific Evidence Supports a Ban on Microbeads. Environmental Science & Technology 49, 10759-10761.
Wardrop, P., Shimeta, J., Nugegoda, D., Morrison, P. D., Miranda, A., Tang, M. & Clarke, B. O. 2016. Chemical Pollutants Sorbed to Ingested Microbeads from Personal Care Products Accumulate in Fish. Environmental Science & Technology 50, 4037-4044.
Wikipedia. 2018. Trash Interceptor. Retrieved from Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Trash_interceptor#cite_note-ew20151217-1 (21 Oktober 2019).





No comments:

Powered by Blogger.